Pendahuluan
Perceraian
bukanlah hal yang baru bagi kita. Sudah sejak zaman Yunani Kuno perceraian
adalah sebuah trend bagi para kaum bangsawan. Kehidupan yang setia semakin
sulit dirasakan sekarang karena berubahnya paham perkawinan sebagai sebuah
lembaga yang suci menjadi hanya sebuah kontrak saja. Bagaimana kita seharusnya
menyikapi hal ini? Bagaimana kita bisa memahami perceraian dari perspektif
Kristen? Kita akan lihat bagaimana kekristenan memandang perceraian dengan
melihat data statistik dan juga apa kata teks Alkitab mengenai hal ini.
Fakta Perceraian
Sebelum kita
melangkah lebih jauh, ada baiknya kita melihat data perceraian yang bisa
diperoleh baik dari dalam maupun luar negeri. Di Amerika Serikat pada tahun
1970an, angka perceraian meningkat dua kali lipat dari sebelumnya, dan
meningkat menjadi tiga kali lipat pada tahun 1981 (apabila dihitung dari tahun
1962 yaitu sebanyak 400,000 kasus menjadi 1,2 juta kasus). Sebuah sumber
menyebutkan kalau angka perceraian di Amerika Serikat adalah 66,6% dari jumlah
perkawinan, dan Inggris berada di tempat kedua dengan angka 50%. John Stott mencatat fakta ini dalam bukunya bahwa, “Pada tahun 1980 terdapat
di Inggris 409,000 perkawinan (35% dari angka itu adalah perkawinan kedua). Pada 2006 yang lalu Indonesia 159.000 angka perceraian , pendaftar perceraian mengalami kenaikan tajam. Selain data-data tersebut,
kita juga dapat menyaksikan trend kasus perceraian yang terjadi bagi kaum
golongan menengah ke atas, khususnya kaum selebritis. Namun bolehlah itu
untuk menjadi acuan kita bahwa kasus perceraian memang sedang hangat dibebe rapa tempat di
Indonesia dan menjadi peringkat
ketujuh didunia.. Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa
orang bercerai?
Penyebab Orang Bercerai
Ada beberapa
hal yeng menjadi pendorong orang untuk bercerai dari pasangannya. Robert
Borrong menyatakan ada tiga hal utama yang mendorong perceraian; yaitu Pernikahan tanpa cinta, Pernikahan
Dini (Belum siap secara mental, emosi, dan materi), dan pernikahan campuran (pernikahan karena beda agama). Ketiga hal
ini dapat saling terikat dan menguatkan alasan-alasan untuk bercerai.
Akibat Perceraian
Pada
dasarnya perceraian akan merugikan semua pihak, bahkan anak yang dibesarkan
oleh orangtua yang bercerai kemungkinan besar akan melakukannya juga di
kemudian hari. Perceraian juga tidak bisa semata-mata dilarang karena akibatnya
tersebut. Banyak juga yang bercerai karena memang mengalami trauma dan
kehidupan yang kacau dan menjadi lebih tersiksa dalam proses perceraian dan
masa sesudahnya. Anak-anak yang orangtuanya bercerai
memiliki prestasi yang lebih rendah di sekolah, memiliki masalah dengan tingkah
lakunya di rumah dan sekolah, dan terlibat dalam tindak kejahatan maupun
seksual lebih cepat dari mereka yang orangtuanya tetap bersama. anak-anak
adalah korban yang mengalami efek paling besar dari perceraian .Karena
perceraian, anak-anak akan menjadi bingung, tersiksa, dikejar trauma, rawan
depresi, dan banyak lagi. Mereka bisa menjadi bengal karena dampak negatif
perceraian tersebut, dan juga memiliki kesulitan mencari contoh ayah atau ibu
yang sempurna dalam keluarga. Penelitian jangka panjang terhadap anak-anak
korban perceraian di AS menunjukkan, 25% di antara mereka sangat bermasalah,
25% tidak bermasalah, serta 50% bermasalah seperti lazimnya anak-anak normal.
Pandangan Alkitab Mengenai Perceraian
Sebelum kita
melihat apa yang Alkitab katakan mengenai perceraian, baiklah kita melihat dulu
apa arti perkawinan dalam kehidupan Kristen. Hal penting untuk dilakukan agar
kita mengetahui apa tujuan sebenarnya dari perkawinan dan dalam bidang apa
perceraian merusak tujuan perkawinan tersebut. Ada beberapa
pandangan mengenai tujuan dari perkawinan. Verkuyl memandang perkawinan itu
sebagai persekutuan hidup yang ditetapkan oleh Tuhan.
Sedangkan Purwa Hadiwardoyo
menyebutkan beberapa sifat pokok perkawinan, yaitu monogam, tak terceraikan,
heteroseksual, dan terbuka akan adanya anak.
Sementara itu, berdasarkan Kejadian 1 dan 2, John Stott melihat ada tiga tujuan
pernikahan: ‘beranak cuculah dan bertambah banyak’ (Kej. 1:28); ‘Tidak baik
kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang
sepadan dengan dia.’ (Kej. 2:18); dan ‘menjadi satu daging’ (Kej. 2:24). Ketiga
tujuan dan kebutuhan perkawinan ini bisa disingkat sebagai kebutuhan prokreasi,
dukungan, dan rekreasi. Singkatnya,
perkawinan diadakan untuk sebuah tujuan mulia yang telah ditetapkan oleh Allah.
Tujuan ini seharusnya menjadi pegangan manusia untuk melanjutkan kehidupannya
melalui perkawinan. Namun, perceraian semakin membayang dalam kehidupan nyata.
Apa kata Alkitab
mengenai perceraian?
Perceraian dalam Alkitab
Ada beberapa
pandangan orang Kristen tentang perceraian, yaitu: Perceraian bukanlah ideal
Allah, Perceraian tidak diperbolehkan karena alasan apapun, Perceraian
menciptakan masalah-masalah. Kita akan melihat sebuah teks dari
Perjanjian Lama mengenai perceraian yang diatur dalam Taurat, dan ucapan Yesus
sendiri dalam Matius 19. Dalam Perjanjian Lama, Ulangan 24:1-4, Satu hal yang jelas
dari ayat ini bahwa dia bukan untuk mengatur perceraian melainkan untuk
melarang laki-laki untuk mengawini ulang mantan isterinya. Kita bisa lihat
bersama bahwa tidak ada aturan mengenai perceraian dalam bagian ini, yang
diatur adalah bagaimana seharusnya suami bertindak kepada mantan isterinya.
Kata ‘tidak senonoh’ pada bagian di atas menimbulkan perdebatan antara Rabi
Hillel dan Rabi Shammai. Kenapa menjadi perdebatan karena mereka merasa bahwa
kata tidak senonoh tidak mungkin merujuk kepada perzinahan, karena yang melakukannya
pasti dirajam mati. Rabi Shammai condong mengartikannya sebagai pelanggaran
seksual, sementara Rabi Hillel mengartikannya bahwa suami tidak lagi menyukai
isterinya, bahkan dengan alasan yang sepele sekalipun. Karena itu sekali lagi
kita harus lihat bahwa ayat di atas sebenarnya bukan berbicara mengenai syarat
perceraian melainkan bagaimana suami harus bertindak kepada mantan isterinya.
Dalam Perjanjian Baru, Pandangan Yesus ialah dalam Matius 5:31-32, dan
Dalam Matius 19:9. Dalam ayat ini Tuhan Yesus melarang perceraian tetapi ada
pengecualian yaitu karena zinah. Pengecualian ini hanya terdapat dalam Matius
5:32 dan Matius 19:9, Kata zinah dalam bahasa Yunani ialah Porneia. Porneia
artinya barang najis. Sebenarnya Yesus tidak membatasi pengertian ini dalam
arti yang sempit tetapi dalam arti yang luas. Penulis berpendapat bahwa
perzinahan yang dimaksud oleh Yesus bukan dibatasi dalam arti percabulan,
keinginan daging tetapi perzinahan rohani. artinya hal-hal yang dalam
perzinahan rohani yang harus dipisahkan ditengah umat Allah. Menurut Penulis
jika nats ini disalah artikan akan sangat banyak orang yang akan bercerai
karena hawa nafsu. Jadi Jelas Yesus sendiri menyatakan bahwa Perceraian tidak
diperbolehkan. Sangat Jelas sekali bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru pun
tidak mengizinkan perceraian (Maleakhi 2:16, Matius 19:4-6). Paulus menyatakan sendiri setuju dengan tidak
boleh bercerai. Dalam 1 Korintus 7:1-15, merupakan persfektif Paulus untuk tidak setuju jika
orang percaya melakukan tindakan perceraian. Dalam situasi apapun keputusan
etis Paulus tidak setuju dalam perceraian. Pernikahan adalah kudus dan sacral.
Kesimpulan
Perkawinan
adalah suatu hal yang suci yang diberikan Allah kepada manusia sejak awalnya.
Perkawinan juga diberikan dengan sebuah tujuan. Namun ketika tujuan itu
dilanggar maka banyak hal yang harus dipertimbangkan. Perceraian tetaplah
merupakan sesuatu yang jahat dan juga dosa. Perceraian juga membawa kerugian
secara mendalam bagi mereka yang berpisah, anak-anak mereka, bahkan keluarga
besar mereka. Penulis sekali lagi menegaskan bahwa Perceraian TIDAK BOLEH DILAKUKAN. Karena:
1.
Perceraian merupakan larangan
Tuhan. Allah tidak pernah merencanakan dan mengijinkan perceraian diantara
umat-Nya (Matius 19:6, Roma 7:2)
2.
Perceraian merusak sumpah
sakral dalam pernikahan yang dibuat Allah (Amsal 2:17).
3.
Perceraian membatalkan seorang
penilik jemaat. Salah satu kualifikasi bagi seorang penilik jemaat adalah bahwa
dia haruslah suami dari satu istri.
Jadi pada intinya TIDAK BOLEH BERCERAI, karena Alkitab
sangat jelas menjelaskannya dan Perkataan Tuhan Yesus sendiri yang melarang
perceraian. Kalau Tuhan Yesus sendiri mengatakan jangan, kita harus taat juga
dengan mengatakan jangan.
Daftar Pustaka:
John Stott, Isu-Isu Global, Jakarta: Yayasan
OMF, 1996, 370.
Robert P.
Borrong, Etika Sosial Kontemporer,
Bandung: Ink Media, 2006, 66.
J. Verkuijl,
Etika Kristen Seksuil, Jakarta:
BPK-GM, 1984, 54-55
Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta:
Kanisius, 1990, 64-65.
Theo Cristi, Perceraian
Dan Pernikahan Ulang. Jakarta: YWAM Publishing Indonesia, 2006, 89-90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar