Pages

About

Sabtu, 22 September 2012

Bahan KAA (2 Korintus 8:1-15)


KELAS PERSIAPAN KAA (2 Korintus 8:1-15)
Penjelasan Ayat:
 Pengumpulan Uang atau Pemberian Kasih Untuk Jemaat Yerusalem (8:1 – 9:15)
Ayat-ayat ini mengajarkan bagaimana memberi dengan tulus:
1. Teladan Jemaat Makedonia (8:1-7)
Paulus mengatakan bahwa sekalipun jemaat Makedonia mengalami banyak tekanan dan penderitaan, tetapi malah mereka meminta supaya mereka juga dapat ambil bagian dalam membantu jemaat di Yerusalem sedaya mampu mereka. Paulus mengatakan bahwa ternyata mereka memberikan lebih besar daripada apa yang diharapkan Paulus. Bahkan mereka memberikan diatas kemampuan mereka. Paulus mengatakan bahwa mereka telah memberikan diri mereka kepada Tuhan tetapi juga harta atau apa yang mereka miliki.

2. Motivasi Pemberian (8:8-15)
Paulus mengatakan bahwa memberi itu harus dengan prinsip membantu dengan ikhlas dan atas dorongan kasih, bukan karena perintah. Memberi juga harus belajar dari apa yang Tuhan telah lakukan dimana Dia rela menjadi miskin supaya kita menjadi kaya. Dia rela menderita supaya kita bebas dari hukuman dan Dia melakukan itu dengan tulus, bukan karena ingin dibalas, tetapi Dia iklas melakukannya dan dengan kasih. Paulus mengatakan bahwa dia hanya menasehati jemaat itu. Supaya mereka memberi dengan tulus dan iklas. Paulus mengatakan bahwa jika mereka memberi dengan rela hati maka itu akan diterima, dia juga mengatakan bahwa pemberian itu bukan atas apa yang tidak ada pada mereka tetapi dengan apa yang ada pada mereka. Artinya bahwa mereka tidak perlu berhutang untuk memberi tetapi brikanlah semampunya saja. Paulus juga mengatakan bahwa mereka dibebani bukan supaya orang lain mendapat keringanan, artinya bahwa memberi itu bukan untuk merugikan mereka dan menguntungkan yang lain, tetapi supaya yang berkelebihan dapat membantu untuk mencukupi yang berkekurangan.

3. Berkat-Berkat Yang Menantikan Orang Yang Murah Hati (9:6-15)
Dalam ayat 6 Paulus mengatakan bahwa orang yang menabur banyak akan menuai banyak dan orang yang menabur sedikit akan menuai sedikit. Ini berarti seperti analogi petani yang menanam tanaman di kebun atau di sawah, jika ia menanam banyak maka dia akan mendapatkan lebih banyak dari yang menanam sedikit. Tetapi jangan dipahami bahwa ukuran banyak atau sedikit diukur dengan jumlah materi yang diberikan. Tadi diatas Paulus telah mengatakan bahwa memberi itu sedaya mampu mereka. Yesus pernah mengatakan bahwa pemberian sepeser dari seorang janda, justru itu lebih besar dari yang memberi banyak tapi dari kelimpahan atau kelebihannya. Jadi dalam hal itu janda itulah yang memberi banyak dan yang akan menuai banyak. Jadi dalam hal inipun kita harus memahami secara demikian. Tatkala jemaat itu memberi dengan kemampuan mereka tanpa mengurangi apa yang mampu lakukan maka amereka akan menuai banyak. Lain halnya dengan orang yang memberi tetapi mengurangi dari apa yang dia mampu maka dia akan menuai sedikit. Kemudian Paulus mengingatkn supaya mereka memberi bukan dengan keterpaksaan sebab Allah memberikan segala kasih karunia supaya jemaat itu berkecukupan.

Hal Apa Yang dapat di Ajarkan kepada Anak Sekolah Minggu:
1.      Jemaat makedonia adalah jemaat yang hidup untuk memberi. Mereka meskipun dalam kondisi yang tidak dalam kecukupan, namun mereka saling membantu dan belajar memberikan dari apa yang ada dalam diri mereka. Pemberian seseorang tidak tergantung dari kondisi besar atau kecilnya, melainkan tergantung dari sikap hati yang tulus dalam memberi. Apa yang kita tabor tidak akan sia-sia, meskipun dengan mencucurkan air mata, karena suatu kelak kita akan menuai berkas-berkasnya.

Tehnik berceritanya gini aja:

Kalian certain keadaan jemaat makedonia pada saat itu? Dan Aplikasinya kepada anak.
Misalnya: Adik-adik, orang-orang Kristen di Makedonia adalah orang yang tidak memiliki rumah yang bagus. Rumah mereka tidak terawat dengan baik, sehingga seandainya sedang hujan besar, mungkin rumah mereka akan bocor dan pada siang hari yang terik mungki mereka mengalami ketidaknyamanan. Sayangnya mereka tidak dapat memperbaiki rumah mereka yang rusak. Kira-kira ada yang tau kenapa? (bisa keluarkan alat peraga uang). Karena mereka tidak mempunyai uang.  Dalam kondisi sedang dalam keadaan sulit, mereka tetap dengan tekun mengucap syukur atas kebaikan Tuhan dengan senantiasa datang beribadah. Dalam keadaan sulit tersebut, mereka malah saling membantu satu dengan yang lainnya bahkan bergotong royong melayani para rekan-rekan gereja yang lain dan juga para hamba-hamba Tuhan, padahal mereka sendiri pada saat itu sedang mengalami penderitaan.
Sehingga Paulus kagum melihat sifat murah hati yang dilakukan oleh jemaat makedonia tersebut, berbeda dengan jemaat Korintus yang sangat makmur dan kaya. Mereka malah saling membenci, egois dan tamak akan berkat yang Tuhan berikan pada jemaat tersebut. Kemurahan hati jemaat Makedonia sangat menyentuh hati Paulus. Kemurahatian seperti inilah yang sebenarnya menyenangkan hati Tuhan. Siapa yang mau menyenangkan hati Tuhan?
Karena itu, Adik-adik sudah saatnya kita mau belajar memberi serta membagikan apa yang Tuhan percayakan pada diri kita dengan ikhlas. Tuhan benar-benar telah memberikan kecukupan kepada kita. Tuhan ingin agar kita dengan murah hati memberikan apa yang kita miliki kepada mereka yang berkekurangan. Tujuannya supaya mereka juga bisa merasakan kecukupan dari Tuhan. Yang berkelebihan menolong yang kekurangan, supaya ada kesimbangan. Contohnya: Jika kita diberkat Tuhan secara Materi, kita belajar mau memberi kepada saudara-saudara kita yang berkekurangan yang belum bisa menikmati apa yang kita nikmati. Memberi juga bukan hanya bersifat materi saja. Misalnya: kalo seandainya Tuhan percayakan kalian mempunyai kelebihan dalam bidang pelajaran, kita melihat teman kita tidak bisa mengerjakannya, kita pun dapat menolong untuk membantu menjelaskannya. Menolong orang yang dalam bencana alam, Dan Lain-lain (mungkin bisa Tanya anak hal-hal apa saja yang berkatian dengan memberi)
Memberi itu adalah bukti rasa syukur kita kepada Tuhan. Mari, dengan sukacita kita mau membagikan apa yang kita miliki saat ini. Karena apa yang kita tabur akan kita tuai suatu saat kelak. Kalo kita menabur kebencian, sombong, pelit maka akan banyak orang yang tidak menyenangi kita dan nama Tuhan tidak dipermuliakan. Ayo, kita memberi dengan tulus apa yang Tuhan percayakan, dan Biarlah Tuhan yang melihat perbuatan kita dan memberkati kita.

(JIKA ADA YANG KURANG ATO GAK SESUAI, BISA MEMBUAT DENGAN PEMAHAMAN PRIBADI DARI CERITA TERSEBUT ATO DENGAN GAYA KREATIVITAS SENDIRI YANG COCOK, SESUAI DENGAN TEMA: MENGAJARKAN KEPADA ANAK AGAR MEREKA MAU BELAJAR MURAH HATI SAMA SEPERTI KRISTUS)

SELAMAT MELAYANI YA.. GBU

Selasa, 11 September 2012

"PENTINGNYA PROFESIONALITAS GURU PAK DALAM DUNIA PENDIDIKAN MASA KINI"


TUGAS MATAKULIAH : PROFESIONALITAS GURU PAK
       
 "PENTINGNYA PROFESIONALITAS
 GURU PAK DALAM DUNIA
 PENDIDIKAN MASA KINI"

OLEH : DENNY SITOMPUL, S.Pd.K


BAB I
PENDAHULUAN

              Pendidikan agama Kristen adalah merupakan hal yang amat penting dalah kehidupan gereja dan umat Tuhan.  Dalam konteks Indonesia, pendidikan agama Kristen mempunyai peran yang penting, hal ini di karenakan kita sebagai murid Kristus dalam kehidupan sehari-harinya harus menunjukkan diri sebagai murid sang Guru Agung.  Pendidikan agama Kristen sering dikeluhkan karena pelajaran agama tidak lagi memberikan sesuatu yang berbeda dalam membetuk siswa untuk menjadi serupa dengan Kristus.
“Hal ini diperparah dengan layanan Pendidikan Agama disekolah yang kerap dikeluhkan siswa dan orang tua. Konon Pendidikan Agama Kristen lebih sering dirasakan siswa sebagai beban yang tidak perlu ketimbang kabar sukacita”.[1]

              Pendidikan agama Kristen seharusnya membuat siswa Kristen berbeda dengansiswa-siswi yang lain. Pendidikan Agama Kristen bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu pendidikan agama Kristen merupakan sarana untuk menanamkan nilai-nilai kristiani kepada anak didik menuju kesempurnaan seperti Kristus.
  Dalam bukunya Em Budhiadi Henock yang berjudul Pendidikan Agama Kristen Selayang Pandang menjelaskan bahwa,
“Dalam usaha untuk menjadi sarana ajaran agama (dogma) menjadi perilaku (etika) yang diamalkan oleh para penganut agama, termasuk agama Kristen maka pendidikan agama dilaksanakan dalam pelbagai cara dan pelbagai lingkungan”[2].

              Peningkatan kualitas pendidikan tidak terlepas dari bagaimana para pendidik (guru) mengajar secara profesional. Karena dengan mencapai profesionalitas maka seorang guru akan meningkatkan kualitas pendidikan agama Kristen. Sering yang menjadi kendala adalah guru yang mengajar mata pelajaran pendidikan agama Kristen bukanlah guru yang kompeten di bidangnya.  Hal ini sudah sering terjadi dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan agama Kristen, sering yang mengajar mata pelajaran agama adalah guru mata pelajaran lain atau pendeta yang tidak profesional untuk mengajar pendidikan agama Kristen dikarenakan tidak tersedianya guru pendidikan agama Kristen di sekolah.

Profesionalitas Guru PAK
              Menurut para ahli kata “profesional” memiliki beragam defenisi, defenisi pertama mengatakan “profesional” khususnya dalam bidang olah raga dan seni, ada istilah “pemain bayaran” dan ada pula “pemain amatiran”.  Dalam permainan bayaran dipergunakan untuk profesional, orang-orang yang melakukan kegiatan ini mendapat upah atau bayaran.[3] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia profesionalitas adalah kemampuan bertindak secara profesional, keprofesian.[4]
               Profesionalitas adalah kemampuan untuk merancang dan melakukan segela sesuatu secara profesional dalam bidang yang digelutinya. Berbicara tentang guru pendidikan agama Kristen Profesionalitas berarti: kemampuan untuk bekerja secara profesional dalam bidang pendidikan agama Kristen, merancang pendidikan agama Kristen secara menarik dalam proses belajar mengajar.
              Guru menurut kamus besar bahasa Indonesia guru diartikan sebagai berikut: orang yang pekerjaannya mengajar.[5]  Namun bila berbicara mengenai guru dalam pendidikan agama kristen, maka guru mempunyai arti sebagai pengajar, penyampai pengetahuan, mendidik, menasehati, membimbing, pembina moralitasdan aklak para murid atau siswa.
Yesus Sang Guru Agung
              Yesus adalah Anak Allah yang menjalankan misi-Nya di dunia dengan cara mengajar para murid dan umat-Nya untuk mengenal siapa sesungguhnya Allah itu.  Ia mengajar orang untuk bergaul dengan Allah dan mencapai pertumbuhan iman dan dengan sendirinya meningkatkan kualitas hidup mereka yang percaya kepada Allah.

Karakter
              Karakter menyangkut kepribadian yang utuh dari seorang guru pendidikan agama Kristen.  Seorang guru pendidikan agama Kristen selalu mengacu kepada sosok Yesus Kristus sebagai Guru Agung.  Kepribadian sangat menentukan keberhasilan guru untuk mengembangkan sumber daya manusia, karena guru berperan sebagai pembimbing, dan sekaligus sebagai panutan.
  Karakteristik kepribadian guru berkaitan dengan keberhasilan dalam melaksanakan pekerjaan meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologis, untuk guru pendidikan agama Kristen ditambah dengan komitmen iman dalam pelayanan.

Integritas
              Integritas adalah kosistensi antara perkataan dan perbuatan yang menjadi teladan bagi peserta didik. Seorang guru harus menunjukkan bahwa hidupnya menjadi teladan dan sebagai contoh bagi peserta didik.  Kesamaan antara kata dan perbuatan dalam hidup seorang guru khususnya guru pendidikan agama Kristen sendirinya menjadi contoh dan teladan bagi peserta didik untuk mengalami perubahan dalam hidup sesuai dengan kebenaran firman Tuhan.

Profesionalitas Guru Pendidikan Agama Kristen
              Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.[6]
              Guru yang profesional adalah guru yang mampu membawa peserta didik memahami serta menjalankan nilai-nilai agama yang dipelajarinya. Rendahnya penghargaan terhadap guru pendidikan agama Kristen berdampak kepada pemahaman tentang profesionalisme.
  Guru yang profesional adalah guru yang melaksanakan tugas keguruan dengan kemampuan tinggi.  Dengan demikian, guru pendidikan agama Kristen yang profesional adalah guru pendidikan agama Kristen yang melaksnakan tugas mengajar dan mendidik di bidang pendidikan agama Kristen dengan mengandalkan kemampuan dan karekter yang tinggi dan mengacu kepada sosok Yesus sebagai Guru Agung.[7]

BAB II
Komponen Standar Kompetensi Guru
Pendidikan Agama Kristen

              Tiga standar komponen kompetensi guru pendidikan agama kristen meliputi: Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian Guru, serta Kompetensi Profesional Guru.
Kompetensi Pedagogik
              Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran yang mendidik, dialogis, dan yang berkenaan dengan pemahaman peserta didik meliputi: pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.

Kompetensi Kepribadian Guru
  Berdasarkan kodrat manusia sebagai makluk individu dan sebagai makluk Tuhan.[8]  Ia wajib menguasai pengetahuan yang akan diajarkan kepada peserta didik dengan benar dan bertanggung jawab.  Kompetensi kepribadian adalah kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.

Kompetensi Profesional Guru
              Kompetensi profesional seorang guru adalah seperangkat kemampuan yang harus di miliki oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajar dengan berhasil.[9]
  Kompetensi profesional guru adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran atau bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah wawasan keilmuan sebagai guru.

Persyaratan Dan Kinerja Guru Pendidikan Agama Kristen Yang Profesional

              Untuk menjadi seorang guru yang profesional dalam suatu bidang atau mata pelajaran, maka seorang guru perlu memiliki pesyaratan untuk memastikan bahwa seorang guru tersebut sudah layak untuk mengajar.  Beberapa pesyaratan itu adalah: Memiliki Kualitas Pendidikan Yang Memadai, Memiliki Kompetensi Mengajar, Memiliki Karunia dan Pengalaman Rohani Memiliki Keteladanan.

Memiliki Kualitas Pendidikan
              Untuk menghasilkan sauatu kualitas pendidikan yang di inginkan bersama, maka dituntut juga guru yang profesiobal di bidangnya.  Kualitas pendidikan seorang guru merupakan salah satu dari unsur dalam peningkatan kualitas pendidikan.
              Pendidikan yang tepat harus terus diusahakan agar seorang guru memiliki penguasaan bahan yang dapat diandalkan.  Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XI pasal 42 disebutkan bahwa pendidikan harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar yang dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
  Dengan demikian untuk menjadi guru Pendidikan Agama Kristen kualifikasi minimal DII/DIII PAK untuk TK, S1 untuk SD-SMA/SMK, dan S2 program S2 program studi PAK untuk menjadi dosen PAK pada PTU dan S2 Dosen pada Perguruan Tinggi Agama/Teologia Kristen.
  Dengan memiliki kualifikasi pendidikan yang memadai, maka diharapkan memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugasnya sebagai guru PAK.[10]

Memiliki Kompetensi Mengajar
              Memiliki kompetensi untuk mengajar sudah menjadi sesuatu yang mutlak bagi seoran guru. Seorang guru yang profesional memiliki kompetensi mengajar yang baik. Kent L. Johnson, dalam Called To Teach (Augsburg, 1984), mengemukakan bahwa sedikitnya ada enam segi kemampuan dan ketrampilan yang harus dikembangkan guru dalam mengembangkan profesinya.  Keenam segi yang dimaksud meliputi masalah penetapan tujuan mengajar, pengelolaan kelas, pemilihan metode, penyajian pelajaran, penciptaan suasana belajar yang baik, dan perencanaan serta pelaksanaan evaluasi pengakaran.[11]

Memiliki Karunia Dan Pengalaman Rohani
              Mengigat bahwa materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru adalah seperangkat kompetensi yang diharapkan dari peserta didik berupa konsep dan pengalaman rohani, serta perubahan sikap dan perilaku sebagai akibat pembelajaran pendidikan agama Kristen, maka seorang guru pendidikan agama Kristen harus memiliki pengalaman rohani.[12]

                                                    Memiliki Keteladanan
             Dalam proses pembelajaran, keteladan seorang guru pendidikan agama Kristen adalah sangat penting dan dibutuhkan.  Dua aspek untuk menanamkan keteladanan yaitu urgensi keteladanan yang meliputi seorang guru akan menjadi teladan bagi peserta didiknya, peserta didik akan menjadi sama dengan gurunya.  Serta aspek yang kedua yaitu implikasi keteladanan bagi pendidikan agama Kristen yang meliputi untuk menghasilkan keteladan bagi peserta didik, maka seorang guru harus hidup dalam realitas pengajarannya sebagai teladan supaya firman Tuhan yang diajarkan menghasilkan transformasi.

BAB III
Faktor-faktor Peningkatan Kualitas Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan tersebut, yaitu:
Lingkungan Sekolah
 Sekolah memainkan peran yang amat penting dalam pendidikan.  Melalui sekolah suatu aktifitas belajar mengajar bisa berjalan dengan baik.  Dimana dalam sekolah terdapat guru,siswa dalam proses belajar mengajar.

Guru
              Kualitas guru sangat memanikan peran penting dalam proses belajar mengajar.  Guru adalah segala-galanya artinya banyak segi dari kedudukan dan peranan guru dalam tugas mengajar.
              Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional indonesia tidak terlepas dari peningkatan kaulitas guru.  Guru harus berusaha untuk meningkatkan kaulitas dan memenuhi kompetensinya.  Guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangannya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (UU No. 14 Tahun 2005: pasal 6)[13]
              Dalam pendidikan agama Kristen, seorang guru dituntut untuk meningkatkan kualitas pendidikan agama Kristen.  disini dituntut seorang guru pendidikan agama kristen harus bekerja secara profesional.[14]
              Guru yang berkualitas harus memahami profesi keguruan.  Guru yang berkualitas terpanggil untuk mendorong peserta didik menimba pengetahuan, pemahaman, dan memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan.[15] 
Guru yang berkualitas akan menentukan peningkatan mutu pendidikan yang berkualitas juga.  Khususnya untuk pendidikan agama kristen dan pendidikan Indonesia secara umum.
Siswa
              Pendidikan agama Kristen tidak lepas dari peserta didik (siswa).  Siswa adalah melakukan aktivitas dan kegiatan dikelas yang ditempatkan sebagai objek dan karena area perkembangan ilmu pengetahuan dan kesadaran manusia, maka siswa bergerak kemudian menduduki fungsi sebagai subjek.  Artinya siswa bukan barang atau objek yang hanya dikenai akan tetapi juga merupakan objek yang memiliki potensi dan pilihan untuk bergerak.
Peningkatan Kualitas Pendidikan
              Peningkatan kualitas pendidikan agam kristen didasarkan pada beberapa hal mendasar yaitu: kerohanian, minat belajar, sikap dan tindakan, serta hubungan dengan sesama.
Kerohanian
              Berbicara tentang pendidikan agama Kristen, maka tidak akan lepas dari kerohanian siswa.  Pengajaran agama Kristen adalah untuk membantu peserta didik dalam perjumpaan dengan tradisi kristiani dan wahyu Allah guna memahami, memikirkan, menyakini, dan mengambil keputusan berdasarkan isi pengajaran.[16]
              Kerohanian siswa berhubungan dengan hubungan siswa dengan Allah untuk mencapai pada kedewasaan iman. Peningkatan kualitas kerohanian siswa dapat dilihat dari bagaimana intensitas siswa menggunakan waktu untuk berdoa, membaca alkitab dan mempunyai waktu untuk bersekutu dengan Allah.  Peningkatan kualitas kerohanian tidak lepas dari bagaimana peran aktif seorang guru pendidikan agama Kristen untuk mengarahkan siswa mengalami pertumbuhan kerohaniannya.
              Pertumbuhan rohani terlihat dati dua aspek yaitu aspek “vertikal dan hotizontal”.  Aspek vertikal adalah diperbaharuinya hubungan seseorang dengan Allah yang dikokohkan melalui firman Allah dan doa.  Sedangkan hubungan horizontal ditandai dengan praktek iman dalam hubungannya dengan sesama.[17]
              Pengajaran agama Kristen diharapkan supaya siswa mengasihi sesamanya oleh karena Tuhan telah mengasihi mereka sendiri.

Pengetahuan
              Pengetahuan membawa kepada kemampuan untuk bertindak secara batiniah, itulah maka manusia mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan binatang.  Proses dari upaya untuk pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari pada prinsipnya tidak banyak berbeda dengan upaya ilmiah.[18] 
              Pengetahuan ditinjau dari sifat dan penerapannya, ilmu pengetahuan terdiri atas dua macam, yakni declatarive knowledge dan procedural knowledge. Pengetahuan deklaratif atau pengetahuan proporsional adalah pengetahuan mengenai informasi faktual yang pada umumnya bersifat statis-normatif dan dapat dijelaskan secara lisan/verbal. Sedangkan pengetahuan prosedural adalah pengetahuan yang mendasari kecakapan atau ketrampilan perbuatan jasmaniah yang cendrung bersifat dinamis.[19]
              Salah satu dari prinsip utama PAK adalah learning to know.  Ini berhubungan dengan kemampuan akal budi peserta didik. Peserta didik diarahkan untuk mengetahui segala sesuatu tentang dirinya, dunianya, sesama, lingkungannya dan pengetahuan akan Allah serta segala Firman-Nya.[20]
Karakter
              Karakter berhubungan erat dengan sikap dan tindakan dari siswa.  Karakter yang baik akan menghasilkan sikap dan tindakan yang baik. Sering terjadinya tauran antar pelajar, siswa yang terjerat dalam narkoba dan obat-obat terlarang serta terlibat dalam perkumpulan-perkumpulan yang merisaukan masyarakat dipengauhi oleh karekter dari siswa yang kurang bagus.[21]
              Melihat dari hal ini maka karakter sangat mempengaruhi peningkatan kualitas pendidikan agama Kristen.  Karena karakter berbicara tentang sikap dan tindakan dari siswa baik di sekolah, di rumah, maupun dalam lingkungan pergaulannya.


BAB IV
Masalah Yang Dihadapi guru

Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri.
Filsofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global.
Dalam konteks sosial budaya MBOJO misalnya, kata guru sering dikonotasikan sebagai kepanjangan dari kata “dou ma di to’a” (menjadi panutan utama). [22]Begitu pula dalam khasanah bahasa Indonesia, dikenal adanya sebuah peribahasa yang berunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Semua perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya. Sebuah posisi yang mulia dan sekaligus memberi beban psikologis tersendiri bagi para guru kita.
Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan masaah kesejahteraan guru.
Masalah kualitas guru
Kualitas guru kita, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Berdasarkan data tahun 2002/2003, dari 1,2 juta guru SD kita saat ini, hanya 8,3%nya yang berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang, bukan merupakan corn/inti dari pengetahuan yang dimilikinya, telah menyebabkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.
Banyak guru yang belum memiliki persyaratan kualifikasi. Guru TK sebanyak 137.069 orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikan baru 12.929 orang (9,43%). Guru SD sebanyak 1.234.927 orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikan baru 625.710 orang (50,67%). Guru SMP sebanyak 466.748 orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikan baru 299.105 orang (64,08%). Guru SMA sebanyak 377.673 orang, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikan baru 238.028 orang (63,02%).[23]
Jumlah guru yang masih kurang
Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal.
Masalah distribusi guru
Masalah distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di daerah-daerah terpencil, masing sering kita dengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, baik karena alasan keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang diharapkan.
Masalah kesejahteraan guru
Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru, dipandang masih jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis dilingkungan sekolah dimana mereka mengajar tenaga pendidik. Peningkatan kesejahteaan guru yang wajar, dapat meningkatkan profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis di sekolah.


DAFTAR PUSTAKA
Jhon M. Nainggolan, Menjadi Guru Agama Kristen (Bandung: Bina Media Informasi, 2007)

            Em Budhiadi Henoch, Pendidikan Agama Kristen Selayang Pandang (Bandung: Bina Media Informasi, 2007)

Drs. Andar Gultom, Profesionalisme, Standar Kompetensi, Dan Pengembangan Profesi Guru PAK (Bandung: Bina Media Informasi, 2007)

 Kamus Besar Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007)

Drs. Andar Gultom, Profesionalisme, Standar Kompetensi dan Pemgembangan Profesi Keguruan (Bandung: Bina Media Informasi, 2007)

Pdt. Jansen Belandina Non-Serrano, Profesionalisme Guru dan Bingkai Materi (Bandung: Bina Media Informasi, 2005)

Hamzah B. Uno, Profesi Keguruan (Jakarta: Bumi Aksara, 2008)

John M. Nainggolan, Pendidikan Agama Kristen Dalam Masyarakat Majemuk (Bandung: Bina Media Informasi, 2009)

            E.G Homrighausen dan I.H Enhklaar, Pendidikan Agama Kristen ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993)

            Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan baru (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008)

            John M. Nainngolan, Menjadi Guru Agama Kristen (Bandung: Generasi Info Media, 2007)

Harian Kompas, Masalah Pendidikan Indonesia (Jakarta: 2008)

 http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=9232



    [1]Jhon M. Nainggolan, Menjadi Guru Agama Kristen (Bandung: Bina Media Informasi, 2007), hlm. 1.

    [2]Em Budhiadi Henoch, Pendidikan Agama Kristen Selayang Pandang (Bandung: Bina Media Informasi, 2007), hlm.3.
    [3]Drs. Andar Gultom, Profesionalisme, Standar Kompetensi, Dan Pengembangan Profesi Guru PAK (Bandung: Bina Media Informasi, 2007), hlm. 2

    [4]Kamus Besar Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 897

    [5]Ibid, hlm. 337.
    [6]Drs. Andar Gultom, Profesionalisme, Standar Kompetensi dan Pemgembangan Profesi Keguruan (Bandung: Bina Media Informasi, 2007), hlm. 9.
[7]Pdt. Jansen Belandina Non-Serrano, Profesionalisme Guru dan Bingkai Materi (Bandung: Bina Media Informasi, 2005), hlm. 37.  

    [8]Hamzah B. Uno, Profesi Keguruan (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 18.
    [9]Ibid, hlm. 18.
    [10]Drs. Andar Gultom, Profesionalisme, Standar Kompetensi, Dan Pengembangan Profesi Guru PAK (Bandung: Bina Media Informasi, 2007), hlm. 29.
 
    [11]B.S. Sidjabat, Menjadi Guru Profesional (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1994), hlm. 46.

    [12]Drs. Andar Gultom, Profesionalisme, Standar Kompetensi, Dan Pengembangan Profesi Guru PAK (Bandung: Bina Media Informasi, 2007), hlm. 30.
    [13] Hilda Karli, Apa Mengapa, dan Bagaimana Sertifikasi Guru Dilaksanakan (Bandung: Generasi Info Media, 2009), hlm. 35.

    [14]B.S. Sidjabat, Menjadi Guru Profesional (Bandung: Kalam Hidup, 2000), hlm. 33.

    [15]John M. nainngolan, Menjadi Guru Agama Kristen (Bandung: Generasi Info Media, 2007), hlm. 26.

    [16]John M. Nainggolan, Stategi Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Generasi Info Media, 2007), hlm. 36.

    [17]John M. Nainggolan, Pendidikan Agama Kristen Dalam Masyarakat Majemuk (Bandung: Bina Media Informasi, 2009), hlm. 80.

    [18]E.G Homrighausen dan I.H Enhklaar, Pendidikan Agama Kristen ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 126.

    [19]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan baru (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 97-98.

    [20]John M. Nainngolan, Menjadi Guru Agama Kristen (Bandung: Generasi Info Media, 2007), hlm. 14.
    [21]Harian Kompas, Masalah Pendidikan Indonesia (Jakarta: 2008)hlm. 3.

        [22] http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=9232
[23] http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=9232

Senin, 10 September 2012

FILSAFAT PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN




Pendahuluan.

Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Pendidikan adalah bantuan yang diberikan dengan sengaja kepada anak dalam pertumbuhan jasmani maupun rohaninya untuk mencapai tingkat dewasa. Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Jadi Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.

A. Teologi seorang guru PAK mempengaruhi filsafat pendidikan dan kinerjanya.


Filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang guru mengenai pendidikan, atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional guru. Setiap guru baik mengetahui atau tidak memiliki suatu filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik.

Filsafat pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para guru dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan.

Terdapat hubungan yang kuat antara perilaku guru dengan keyakinannya:
a. Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran. Komponen penting filsafat pendidikan seorang guru adalah bagaimana memandang pengajaran dan pembelajaran, dengan kata lain, apa peran pokok guru? Sebagian guru memandang pengajaran sebagai sains, suatu aktifitas kompleks. Sebagian lain memandang sebagai suatu seni, pertemuan yang sepontan, tidak berulang dan kreatif antara guru dan siswa. Yang lainnya lagi memandang sebagai aktifitas sains dan seni. Berkenaan dengan pembelajaran, sebagian guru menekankan pengalaman-pengalaman dan kognisi siswa, yang lainnya menekankan perilaku siswa.
b. Keyakinan mengenai siswa. Akan berpengaruh besar pada bagaimana guru mengajar? Seperti apa siswa yang guru yakini, itu didasari pada pengalaman kehidupan unik guru. Pandangan negatif terhadap siswa menampilkan hubungan guru-siswa pada ketakutan dan penggunaan kekerasan tidak didasarkan kepercayaan dan kemanfaatan.Guru yang memiliki pemikiran filsafat pendidikan mengetahui bahwa anak-anak berbeda dalam kecenderungan untuk belajar dan tumbuh.
c. Keyakinan mengenai pengetahuan. Berkaitan dengan bagaimana guru melaksanakan pengajaran. Dengan filsafat pendidikan, guru akan dapat memandang pengetahuan secara menyeluruh, tidak merupakan potongan-potongan kecil subyek atau fakta yang terpisah.
d. Keyakinan mengenai apa yang perlu diketahui. Guru menginginkan para siswanya belajar sebagai hasil dari usaha mereka, dimana hal ini berhubungan dalam keyakinan (teologi)nya yang harus diajarkan kepada murid/siswa.

B. Asas mengajar seorang guru PAK jika menerapkan pemikiran progresivisme.

Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.

Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama.

Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru).
Keterbukaan pikiran disertai dengan kerangka orientasi ke masa depan melahirkan progresivitas pemikiran guru PAK. Ia menjadi guru PAK yang berpikir ke depan melalui pergaulannya dengan banyak kalangan dari berbagai situasi dan kalangan. Itulah yang menjadikan pikiran guru PAK tetap. Guru PAK menggunakan berbagai pengetahuan yang dimiliki bukan sebagai resep atau dogma, melainkan sebagai alat untuk menganalisis dan memahami kenyataan hidup di masyarakat, khususnya murid / siswa. Dari situ, dapat memahami guru PAK sebagai orang yang berorientasi pada masalah yang dihadapi, bukan pada aliran atau teori tertentu. Rumusan-rumusan konsep pendidikan yang dipaparkannya secara jelas menunjukkan keterlibatannya dengan persolan-persoalan pendidikan yang dihadapi oleh ke-manusia-an di masa hidupnya. Dari pergulatannya dengan berbagai persoalan itu, lahirlah pemikiran-pemikiran progresif yang memberi solusi konstruktif.

C. Pandangan kosmologi, antropologi, teologi, dan ontologi seorang guru Pemdidikan Agama Kristen.

Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu:

Kosmologi. Metafisika merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat: hakekat dunia, hakekat manusia, termasuk di dalamnya hakekat anak. Kosmologi secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini diperlukan secara implisit untuk mengetahui tujuan pendidikan.
Seorang guru seharusnya tidak hanya tahu tentang hakekat dunia dimana ia tinggal, tetapi harus tahu hakekat manusia, khususnya hakekat anak. Hakekat manusia: manusia adalah makhluk jasmani rohani, manusia adalah makhluk individual sosial, manusia adalah makhluk yang bebas, manusia adalah makhluk menyejarah.

Peran filsafat pendidikan bagi guru, dengan filsafat metafisika guru mengetahui hakekat manusia, khususnya anak sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya dan berguna untuk mengetahui tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi guru mengetahui apa yang harus diberikan kepada siswa, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi guru memehami yang harus diperoleh siswa tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena pengetahuan tersebut.

Antropologi. Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalaam upaayanya belajr mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Teologi. Yang menentukan filsafat pendidikan seorang guru adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku guru, yaitu: Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan apa yang perlu diketahui.
Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar. Selain itu, pemahaman teologi akan menjauhkan guru PAK dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan. Maka di sini teologi sebagai penerang kuat, bagaimana seharusnya seorang guru PAK bersikap, baik ke terhadap dirinya maupun terhadap siswa / murid. Sehingga siswa / murid di bawa ke dalam pola hidup yang benar sesuai dengan kebenaran yang teologi (Alkitab) ajarkan.

Epistemologi. Kumpulan pertanyaan berikut yang berhubungan dengan para guru adalah epistemologi. Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan pengetahuan yang berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah dari situasi satu kesituasi lainnya? Dan akhirnya pengetahuan apakah yang paling berharga?
Bagaimana menjawab pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki implikasi signifikan untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama guru harus menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian guru harus menentukan alat yang paling tepat untuk membawa muatan ini bagi siswa. Meskipun ada banyak cara mengetahui, setidaknya ada lima cara mengetahui sesuai dengan minat / kepentingan masing-masing guru, yaitu mengetahui berdasarkan otoritas, wahyu tuhan, empirisme, nalar, dan intuisi. Guru tidak hanya mengetahui bagaimana siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana siswa belajar. Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.

Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalaipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namuntelaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin stui empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahaawa dalam menjelaskaan objek formaalnya, telaah ilmu pendidikan tidaak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).

Ontologis. Pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).

Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian makaa menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.

D. Pemahaman dan korelasional yang harus dimiliki seorang guru PAK tentang etika dan estetika.

Etika dan estetika merupakan bagian dalam filsafat Aksiologi. Aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat kaitannya dengan pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan. Langsung atau tidak langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidikan. Nilai merupakan hubungan sosial. Pertanyaan-pertanyaan aksiologis yang harus dijawab guru adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan guru kepada siswa untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apa yang bener-benar dipegang orang yang benar-benar terdidik? Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan.

Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku. Lebih-lebih di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).

E. Relevansi teori empirisme, nativisme, dan konvergensi dalam PAK.

Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik

Teori / hukum Empirisme (John Locke, tahun 1632 – 1704), dimana perkembangan pribadi ditentukan oleh lingkungan, terutama lingkungan pendidikan. Manusia laksana kertas putih. Teori / hukum Nativisme (Arthur Schopenhauer, tahun 1988 – 1860), dimana perkembangan pribadi manusia hanya ditentukan oleh faktor hereditas atau faktor koderati. Teori / hukum konvergensi (William Stern, tahun 1971 – 1938), dimana perkembangan pribadi manusia merupakan akumulasi dari dari interaksi-sinergis antara potensi dasar dengan lingkungan pendidikan. Yang menjadi relevansi dari ketiga teori / hukum ini adalah bahwa teori / hukum konvergensi merupakan gabungan yang sinergis antara teori / hukum Empirisme dan Nativisme.

Sesuatu dipandang sah dilakukan, jika ada manfaatnya. Manusia akan berkembang jika berinteraksi dengan lingkungan berdasarkan hereditas dan kemampuan berpikir dalam dirinya. Sekolah merupakan lingkungan khusus yang menjadi penyambung lingkungan yang lebih umum. Sekolah berfungsi menyeleksi dan menyederhanakan kebudayaan yang berguna bagi individu. Belajar harus dilakukan oleh siswa secara aktif dengan pendekatan pemecahan masalah.
Progresivisme atau gerakan progresif pengembangan teori pendidikan mendasarkan diri pada beberapa prinsip, yaitu: anak harus bebas berkembang secara wajar, pengalaman langsung picu utama minat belajar, guru harus menjadi peneliti dan pembimbing anak, Sekolah harus menjadi ujung tombak reformasi pedagogis dan eksperimen.

F. Manfaat mempelajari Filsafat Pendidikan Agama Kristen.

Setelah menempuh mata kuliah ini penulis paling tidak kesadaran dan memiliki dasar pemikiran filosofis dan teoritis mengenai pendidikan dalam lingkup pengajaran makro berlandaskan epistemologis dan lingkup belajar-mengajar mikro berlandaskan interaksi insani, memiliki wawasan yang luas dan dalam mengenai berbagai pandangan fislafat dan teori pendidikan. Penulis mampu pula mengidentifikasi permasalahan pendidikan yang ditemuinya dalam keseharian pendidikan dan mencarikan jalan keluarnya. Diharapkan juga dengan landasan ini, penulis akan mampu membina dan mengembangkan program pendidikan serta memecahkan persoalan pendidikan pada umumnya, dan khususnya yang timbul dan dihadapi di Indonesia baik dalam rangka otonomi daerah maupun dekonsentrasi pendidikan guru dan Pendidikan Agama Kristen.

”Filsafat Pendidikan Agama Kristen” membahas persoalan filsafati dan teoritis mengenai pendidikan, baik dasar pemikiran maupun penerapannya dalam praktek serta pemecahan masalah-masalah mikro dan makro pendidikan, dengan menempatkan permasalahan pendidikan tersebut pada pemikiran filsafat maupun teoritis. Maka perkuliahan ini juga menyoroti pelbagai landasan pendidikan, serta pendidikan dalam praktek dengan ilmu pengetahuan termasuk pedagogik, dengan filsafat pendidikan serta dengan berbagai disiplin keilmuan lain. Dalam studi ini digunakan pendekatan filsafat, teoritis-sistematis, historis, maupun komparatif, yang mana dari itu semua dilandasi oleh pemikiran teologi Kristen, sebagai pengejawantahan dari Alkitab.

Sumber:
1. Ardiani, Guru dan Filsafat Pendidikan.
2. Bogdan & Biklen, Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon, 1982.
3. Campbell & Stanley, Experimental & Quasi-Experimental Design for Research. Chicago : Rand McNelly, 1963.
4. Henderson, SVP, Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press, 1954.
5. Heryanto, Nunu, Pentingnya Landasan Filsafat Ilmu Pendidikan Bagi Pendidikan (Suatu Tinjauan Filsafat Sains).
6. Gordon, Thomas, Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub, 1974.
7. Kneller, George F. , Introduction to the Philosophy of Education. John Willey Sons Inc, New York, 1971.