Pages

About

Kamis, 23 Agustus 2012

Peluang dan Tantangan Formalisasi Syariat Islam di Indonesia (Suatu Pandangan Islam)

Peluang dan Tantangan Formalisasi Syariat Islam di Indonesia (Suatu Pandangan Islam)
Tugas : Mata Kuliah Pancasila
By: Denny Sitompul, S.Pd.K 
Pendahuluan
  Sebelum Indonesia merdeka syariat Islam ini sudah ada dan sudah populer, dalam pembahasan ini tidak ada salahnya kalau kita tahu tentang sedikit latar belakang munculnya syariat Islam di Indonesia, membahas formalisasi syariat Islam perlu kiranya cuplikan latar belakang munculnya kata-kata Syariat Islam di Indonesia, yaitu adanya suatu keyakinan bahwa “Islam adalah diatas dari segala-galanya”, termasuk adalah Islam merupakan solusi dari segala permasalahan yang muncul di permukaan. Imbasnya, mereka berusaha untuk menjadikan Hukum Islam sebagai hukum publik, sebagai Negara yang berpenduduk umat Islam terbesar di dunia, semangat menerapkan syariat wajar jika dimunculkan.
  Menurut sejarah, yang sangat mungkin dapat dijadikan rujukan, terutama pada masa sejarah awal kemerdekaan kita, perjuangan kelompok Islam untuk memasukkan syariat begitu kuat mengemuka saat itu, semangat yang muncul ketika itu adalah menjadikan syariat sebagai bagian dari ideologi Negara.
Pertama, pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dilakukan menjelang kemerdekaan Indonesia, selalu dibumbui perdebatan alot antara kaum nasionalis dengan wakil Islam tentang ketentuan memasukkan tambahan tujuh kata di sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya sebagaimana tercantum di Jakarta Chapter atau lebih dikenal dengan Piagan Jakarta. Kedua, pada sidang konstituante, dalam torehan sejarah yang terjadi pasca pemilu 1955 itu terjadi tarik menarik antara kelompok Nasionalis dengan kelompok Islam.
  Tema perdebatan juga sama yakni pro dan kontra seputar keinginan menjadikan syariat Islam diterapkan sebagai bagian dari hukum Indonesia. Tetapi karena beberapa kali deadlock, dan tidak jadinya rumusan Negara membuat Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia mengambil alih konstituante sehingga lahirlah Dekrit Presiden, 5 juli 1959, maka perjuangan umat Islam itupun kandas lagi. Ketiga, seiring lamanya kendali Orde Baru yang dikomandani Soeharto selaku Presiden, yang menabukan aspirasi, nuansa untuk menerapkan syariat Islam pun surut, meski tidak pernah pudar di otak para umat Islam.
  Berubahnya zaman, adanya reformasi, runtuhnya rezim Orde Baru yang
dikomandoi oleh Soeharto dan kroni-kroninya membuat keinginan untuk mengamandemen Undang-undang Dasar dan memasukkan tujuh kata itu pun muncul lagi. Di tengah sidang-sidang amandemen UUD 1945 beberapa waktu lalu, beberapa kelompok Islam mencoba menghembuskan Piagam
Jakarta. Perdebatan yang berlangsung sejak zaman kemerdekaan tersebut,
seakan menjadi justifikasi historis bahwa perdebatan dan keinginan menerapkan syariat Islam tersebut merupakan keharusan sejarah. Jadi sangatlah beralasan kalau saat ini pejuang penegakan syariat Islam di daerah-daerah begitu bersemangat menuntut ditegakkannya syariat Islam.
  Tetapi perlu diingat bahwa perdebatan seputar penegakkan syariat Islam ini akan terus memperpanjang konflik antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam, kalau seandainya bisa memasukkan syariat sebagai hukum publik di Indonesia, banyak masalah besar yang akan menghadang. Nah, di sinilah tampaknya kita perlu mengedepankan maslahah. Ada kaidah ushul fiqh yang patut untuk kita kedepankan; menarik kemaslahatan dan menghilangkan kerusakan (jalb al masalih muqoddamun ‘ala daf’ al mafasid) dan kaedah ke dua, apabila ada dua pilihan yang tidak menguntungkan, ambillah mana yang paling sedikit madharatnya, (akhafu al darurain). Atau sebagaimana diungkapkan asy- Syatibi, dalam menyikapi nash-nash syari’ah.[1]

Seputar Syariat Islam
  Syariat Islam sesungguhnya meliputi keyakinan spiritual dan ideologi politik. Spiritualisme Islam telah membahas pribadi manusia dengan Allah
yang terangkum dalam akidah dan ubudiah, sebaliknya ideologi politik Islam telah membahas seluruh urusan keduniaan yang terangkum dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri maupun dengan sesamanya, baik menyangkut bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, politik luar negeri, pendidikan, dan sebaginya. [2]
  Namun demikian, bila membicarakan syariat dalam arti hukum
Islam, maka terjadi pemisahan bidang hukum sebagai disiplin ilmu hukum.
Sesungguhnya hukum Islam tidak membedakan secara tegas antara wilayah
hukum privat dan hukum publik, seperti yang dipahami dalam ilmu hukum
barat karena dalam hukum privat terdapat segi-segi hukum publik; demikian
pula sebaliknya dalam hukum publik terdapat pula segi-segi hukum privat.
Ruang lingkup hukum Islam dalam arti fikih Islam meliputi : munakahat,
warisan, muamalat dalam arti khusus, jinayah atau uqubat, al-ahkam assulthoniyah (khilafah), siyar, dan mukhasamat.[3] Apabila Hukum Islam itu disistematisasikan seperti di dalam tata hukum Indonesia, maka akan tergambarkan bidang ruang lingkup muamalat dalam pemerintahan.

Formalisasi Syariat Islam
  Munculnya formalisasi syariat Islam, merupakan konsekuensi dari perkembangan hukum Islam itu sendiri, kajian tentang formalisasi syariat Islam di Indonesia dalam perspektif tata hukum Indonesia, maka perlu dikemukakan tentang lembaga kekuasaan kehakiman Islam.[4] Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana sesungguhnya Islam berperan dalam mencari kebenaran dan menegakkan keadilan bagi kehidupan masyarakat, maka dapat diupayakan melalui penyusunan kitab-kitab fikih (kodifikasi hukum Islam) dan membentuk berbagai lembaga peradilan yang bergerak dibidang litigasi maupun non litigasi di luar lembaga peradilan, seperti adanya lembaga penyelesaian sengketa dan lembaga bantuan hukum.
  Pranata penyelesaian sengketa para pihak pada awal pemerintahan Islam, pernah dikenal dengan nama lembaga kekuasaan kehakiman Islam, lembaga kehakiman ini dapat dijumpai dalam sepanjang sejarah peradilan Islam, dilaksanakan pada pemerintahan Islam dengan tujuan untuk menegakkan keadilan dan melindungi masyarakat dari kesewenangwenangan dan kedzoliman pihak lain. Latar belakang dibentuknya lembaga ini karena sering terjadi perlakuan tidak adil, baik yang berhubungan dengan masalah muamalah (perdata Islam) maupun masalah jinayah (pidana Islam). Masalah perdata sering muncul berkaitan dengan kecurangan dalam perdagangan, seperti pengurangan takaran, pengurangan timbangan, dan lain sebagainya. Sedangkan masalah pidana sering muncul berkaitan dengan penganiayaan penguasa terhadap rakyat, pelanggaran atas hak seseorang terhadap pihak lain, penipuan, dan sebagainya.
  Untuk menyelenggarakan pemerintahan Islam yang damai, aman, dan adil, maka lembaga kekuasaan kehakiman sangat berperan dan menentukan pada waktu itu. Hukum ditegakkan bagi siapapun yang melanggar dan tidak pandang siapa pun yang bersalah, semua orang dipandang sama di muka hukum, sesuai dengan prinsip equality before the law dan justice for all.[5] Semasa pemerintahan Islam, upaya untuk mencari kebenaran dan menegakkan keadilan tidak mengenal pilih kasih. Setiap orang yang bersalah harus dikenai sanksi yang sesuai dengan tingkat kesalahannya. Demikian pula sebaliknya, setiap orang yang merasa bersalah selalu menerima dengan ikhlas atas putusan yang dijatuhkannya.

Peluang dan Tantangan Formalisasi Syariat Islam di Indonesia
(Suatu Pandangan Islam)
Makna Dien dan Konsekuensinya
  Arti “dien” tidak hanya “agama/ugama” dalam pengertian sansekerta yang bermakna “tidak rusak” dan dipahami sebagai aturan ritual. Ia berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna: al-itaa’ah (ketaatan); al-qahru wal-ghalabah (tunduk dan takluk); al-hudud wal-qawanin (hukum dan undang-undang); dan al-jazaa’ (balasan).
  Dien dari sisi sumbernya, terbagi menjadi dua: Dienullah (undang-undang Allah) dan Dienunnaas (undang-undang manusia). Dienullah adalah Islam ciri-ciri utamanya adalah ia bersumber dari wahyu Allah sejak nabi-nabi terdahulu. Ciri lain, ia mutlak benar dan syumul (komprehensif) yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Sifat ke-syumulan-nya berlaku universal, mencakup seluruh bangsa pada setiap zaman.
  Adapun Dien (agama) Allah yang terakhir adalah al-Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW yang merupakan penyempuranaan dien-dien sebelumnya, maka dien yang dibawa nabi Muhammad sebagai penghapus Dien (agama) sebelumnya.
  Sedangkan undang-undang manusia (dienun-naas), sumber ajarannya adalah otak manusia. Nilai-nilainya sangat bergantung pada subyektifitas manusia yang sangat beragam. Jika diamalkan hanya membawa bencana dunia di akhirat. Karenanya, tidak ada pilihan bagi manusia kecuali agama Islam bila ingin selamat dunia-akhirat. Dengan demikian, memeluk Islam berarti siap taat, patuh, dan berhukum kepada Allah. manusia yang enggan berhukum dengan Allah hanya akan mengantarkan hidupnya menjadi tak bermakna; mengantarkannya pada derajat rendah, bahkan lebih rendah dari binatang.
Syariat Islam, Mengapa Harus Sebuah Negara?
  Tidak ada manusia yang lebih mengerti tentang Islam kecuali nabi Muhammad SAW. Sejarah mencatat bagaimana Rasulullah mengamalkan dan menegakkan syariat Islam dalam sebuah institusi negara bernama Madinah. Dalam kajian syiyasah syar’iyyah (politik syar’i), hal ini lazim disebut Imamah. Imam Mawardi dalam “Al-Ahkam As-Shulthaniyah” mendefinisikan Imamah sebagai: Posisi khalifah nubuwwah (pengganti nabi) dalam mengemban tugas hirasatud-dien (menjaga agama) dan siyasatud-dunya bihi (mengatur dunia bersandar nilai agama).
  Fakta menunjukkan, bahwa Rasulullah dalam melakukan tugas menjaga agama (hirasatud-dien) dan mengatur dunia bersandar nilai agama (siyasatud-dunya bihi) adalah dalam konteks kenegaraan (Imamah). Di mana Rasulullah berlaku sebagai imam, penduduk Madinah selaku rakyat yang wujudnya pluralitas (mukmin dan kafir), dan ajaran Islam sebagai undang-undang positifnya. Dalam memutuskan perkara-perkara kenegaraan dan kerakyatan, Rasulullah selalu mengacu pada dasar syariat Islam sebagai supremasi hukum.
Dampak Positif Penerapan Syariat Islam
  Syariat Islam selalu dimaksudkan untuk mendatangkan kesejahteraan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Syariah juga dimaksudkan untuk menghilangkan kerusakan atau minimal menguranginya. Hal ini merupakan jaminan prinsip yang oleh Ahli Ushul biasa disebut sebagai Dharuriyat khamsah, yaitu penjagaan keyakinan, penjagaan akal, penjagaan keturunan, penjagaan harta. Artinya, syariat Islam membawa misi bagi lahirnya visi di atas. Dalam hal ini, penjagaan keyakinan syariat islam menetapkan bahwa agama Islam wajib dijaga kemurniannya sehingga tidak mudah diganggu gugat oleh musuh-musuhnya seperti yang terjadi saat ini di Indonesia.
  Dalam penjagaan jiwa, syariat Islam menetapkan bahwa jiwa manusia wajib dijaga keamanannya dan tidak boleh dibunuh kecuali yang telah dibenarkan oleh syariat. Dalam penjagaan akal, syariat Islam menetapkan bahwa akal manusia wajib dijaga kesehatannya dan gangguan-gangguan syaraf yang disebabkan minuman keras. Dalam penjagaan keturunan, syariat Islam menetapkan bahwa keturunan wajib melalui pernikahan yang syah, tidak boleh melalui perzinaan. Dan dalam penjagaan harta, syariat Islam menetapkan bahwa harta dijaga dari dua sisi, yaitu sisi keamanannya, dengan menerapkan undang-undang pencurian yang keras, kemudian sisi kebersihannya, dengan melarang sitem mencari rezeki yang haram, seperti riba.
Peluang dan Tantangan
  Dalam konteks Indonesia, penerapan syariat Islam akan terhalang oleh supremasi hukum yang tidak menganut syariat Islam, oleh karenanya hukum tersebut wajib dirombak sehingga tidak menghalangi penerapan syariat Islam. Meski demikian, ada celah yang wajib dimanfaatkan oleh umat Islam sebagai penerapan dari ajarannya, yakni UU Otonomi Daerah.
            Sebagai sebuah tahapan, memanfaatkan celah UU Otonomi Daerah harus dilalui dengan terus berupaya agar Islam dapat menjadi supremasi hukum di Indonesia secara total. Karena menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya undang-undang adalah tuntutan ajaran yang bersifat harga mati bagi setiap muslim. Oleh karena itu tantangan wajib dihadapi dengan dua tekad: “Sampai menang atau mati di jalan Allah.” Rumusnya adalah: Dakwah dan Jihad.

Mengupas Tiga Dalil Syariat
  Belakangan ini, ada kecenderungan sebagian umat Islam menjadikan syariat Islam seolah-olah obat antibiotik yang dapat menyembuhkan semua penyakit di setiap tempat dan di segala zaman. Mereka berpandangan bahwa syariat Islam itu sempurna sehingga mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat, mulai ibadah, muamalah, sampai sistem pemerintahan.
  Klaim kesempurnaan syariat Islam tersebut selalu diulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Implikasinya adalah syariat Islam seakan-akan tidak membutuhkan teori atau ilmu non-syariah. Semua problematika ekonomi, politik, sosial, budaya dan hukum bisa dipecahkan oleh syariat Islam yang telah diturunkan Allah 15 abad yang lampau. Untuk itu, sudah selayaknya dilakukan tinjauan ulang terhadap klaim kesempurnaan syariat Islam.
  Klaim kesempurnaan di atas biasanya didasarkan pada tiga dalil. Pertama, dalam al-Maidah ayat 3, Allah telah menyatakan, “Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu.
  Kalimat ini sebenarnya hanyalah penggalan ayat yang sebalumnya berbicara mengenai keharaman makanan tertentu dan larangan mengundi nasib serta larangan untuk takut kepada orang kafir. Karena itulah, konteks ayat itu menimbulkan pertanyaan atas kata “sempurna”: apakah kesempurnaan itu berkaitan dengan larangan-larangan di atas atau berkaitan dengan keseluruhan syariat Islam?
  Dari sudut peristiwa turunnya ayat, potongan ayat di atas turun pada hari Arafah saat Rasulullah Muhammad menunaikan haji. Karena itulah, sebagian ahli tafsir membacanya dalam konteks selesainya aturan Allah mengenai ibadah, mulai salat sampai haji. Sebagian ahli tafsir menganggap potongan ayat ini turun saat fathu Makkah. Dengan demikian, dikaitkan dengan larangan sebelumnya untuk takut kepada kaum kafir, penggalan ayat “kesempurnaan”tersebut dibaca dengan makna, “Sungguh pada hari ini telah Aku tundukkan musuh-musuh kalian.
  Selain itu, sejumlah ulama memandang bahwa kesempurnaan yang dimaksud dalam ayat tersebut terbatas pada aturan halal dan haram. Mereka tidak menganggap bahwa pada hari diturunkannya ayat itu, syariat Islam telah sempurna. Sebab, ternyata setelah ayat tersebut, masih ada ayat Quran lain yang turun, seperti ayat yang berbicara tentang riba dan kalalah.
  Kedua, klaim kesempurnaan syariat Islam juga didasarkan pada al-Nahl ayat 89, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu.” Menurut Mahmud Syaltut, ketika Alquran memperkenalkan dirinya sebagai tibyanan likuli syay’i, bukan maksudnya menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Alquran terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Jadi, cukup tidak berdasar kiranya kalau ayat tersebut diajukan sebagai bukti bahwa syariat Islam mencakup seluruh hal.
  Ketiga, dalam al-An’am ayat 38 disebutkan, “Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam al-Kitab.” Sejumlah ahli tafsir menjelaskan bahwa Alquran tidak meninggalkan sedikit pun dan atau lengah dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan-tujuan pokok Alquran, yaitu masalah-masalah akidah, syariah, dan akhlak, bukan sebagai apa yang dimengerti oleh sebagian ulama bahwa ia mencakup segala macam ilmu pengetahuan.
  Sebagian ahli tafsir lainnya menganggap kata “al-Kitab” di atas bukan merujuk pada Alquran, tetapi pada lauh al-mahfuz. Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum, Alquran sebagai sumber utama hanya memberikan pokok-pokok masalah syariat, bukan menjelaskan semua hal secara menyeluruh dan sempurna.

Adakah Peranan Syariat Islam Dalam Pembangunan Nasional?
  Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengahayati kondisi psikologis dan situasi sosial politik secara utuh ketika gagasan Pancasila menjadi dasar negara itu muncul. Untuk merespon gagasan ini, para ulama terbagi menjadi dua. Pertama, ulama grassroot yang tidak mengenal apa yang disebut nasionalisme; kedua, ulama di tingkat elit yang sudah paham dan menghayati nasionalisme.[6] Dalam buku ini menjelaskan bahwa Ulama yang pertama tidak terlibat dalam perdebatan dasar negara. Bagi ulama tingkat elit yang berlatar belakang pesantren dengan jiwa syariat Islam, mereka berjuang untuk menegakkan syariat Islam, tapi syariat ini harus dalam koridor tidak merugikan kelompok di luar Islam, Kelompok ini menginginkan syariat Islam sebagai dasar negara, tapi tidak bisa membuat rumusan yang bisa dipahami pihak lain.
  Kemudian muncullah Bung Karno yang berusaha untuk menengahi antara nasionalisme sekuler dan nasionalisme Islam. Dari situlah kemudian lahir Pancasila.[7] Jadi, kalau ditinjau dari situasi psikologis waktu itu, Pancasila adalah bentuk kompromi dari dua arus, arus nasionalisme sekuler dan arus nasionalisme Islam. Maka ketika ditanya “Apakah Pancasila sebagai dasar negara sesuai dengan syariat Islam”, maka jawabannya adalah “Ya, sesuai”. Karena kalau tidak sesuai, tentu sudah ditolak oleh kelompok Islam waktu itu.
  Menurut KH. Imam Ghazali Said menyatakan bahwa,
Kesesuaian Pancasila dengan Islam juga bisa dikaji dari isinya. Sila     pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan ini diterima melalui proses panjang. Awalnya adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya”. Akhirnya, tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya) dicabut dan diganti dengan sila pertama sebagaimana Pancasila yang sekarang. Sila pertama itu sama dengan kata “Laa Ilaha Ill-Allah” (Tidak ada tuhan selain Allah) atau “Qul Huwa-Allah-u Ahad” (Katakanlah, Allah itu Esa). Sila Kedua; “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” juga sesuai dengan Islam karena tujuan utama dari Syari’at Islam adalah untuk mensejahterakan umat manusia atau mashalih al-nas atau mashalih al-amah. Sila ketiga, “Persatuan Indonesia” mengacu pada sikap Nabi yang tetap mencintai Makkah sekalipun beliau hijrah ke Madinah. Nabi pernah bersabda yang kurang lebih artinya adalah “Andaikan bangsaku tidak mengusir aku, maka aku tidak akan keluar dari Makkah”. Ini bisa dimaknai sebagai nasionalisme. Sila keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” artinya adakah demokrasi, yang menurut Islam ini adalah implementasi dari konsep Syura.................. Sila terakhir, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, adalah sama dengan konsep“Al-Adalah Li-l Ijtima’iyah” . Keadilan sosial di sini dikaitkan dengan konsep nasionalisme di atas. Semua ini sesuai dengan syariat Islam.”[8]

  Jadi, sebetulnya sekalipun kita berlandaskan Pancasila. Tapi substansinya berlandaskan syariat Islam. Maka secara substantif Indonesia itu memang Negara Islam. Tetapi tidak perlu disampaikan secara terbuka. Sebab itu akan membuat orang lain tidak enak. Sebetulnya problem ini sudah selesai. Akan tetapi, kadang-kadang muncul kembali karena ketidakpahaman kita terhadap kondisi psikologis pada awal era kemerdekaan 1945. Namun peranan Islam sangatlah dominan dalam pembentukan sebuah negara.

Dampak Syariat Islam Bagi Pembangunan Indonesia
  Mengingat perkembangan akhir-akhir ini dimana dinamika dalam kehidupan berbangsa dan negara yang semakin mengarah ke arah Islamisasi dalam berbagai Aspek kehidupan tidak lagi merupakan sesuatu yang sifatnya underground lagi dan cenderung memaksa untuk menyeragamkan sudut pandang golongan dalam menyikapi berbagai masalah yang menimpa negara ini. Jika hal tersebut hanya sebatas dari upaya-upaya dakwah secara damai tanpa mengutak-utik dasar dari pendirian bangsa dan negara ini yaitu Pancasila yang membuat berbagai suku-bangsa di wilayah Nusantara ini sepakat untuk ikut serta dalam kontrak sosial pendirian negara Indonesia dan tidak memaksakan pandangan suatu golongan dalam Norma dasar pendiriannya serta memperhatikan segala perbedaan yang ada dalam sebuah konsep Bhineka Tunggal Ika, bagi setiap insan yang beradab hal tersebut merupakan suatu hal yang biasa. [9]
                 Istilah "syariat Islam" menimbulkan dampak alergis terhadap kalangan non-Islam terutama umat Kristiani. Dalam Sejarahnya kalangan Kristiani dari Indonesia Timur meminta pencoretan kata syariat Islam dari Mukadimah UUD. Kalau tidak dicoret, maka mereka memilih untuk tidak bergabung dengan Republik Indonesia. Begitu mendengar istilah syariat Islam dalam kaitan kehidupan politik, kewaspadaan mereka langsung meningkat. 
                 Padahal syariat Islam bagi umat Islam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh kehidupan mereka. Karena itu kalangan Islam pada awal kemerdekaan menghendaki Islam menjadi dasar negara dengan alasan bahwa seluruh kehidupan umat Islam termasuk kehidupan bernegara harus sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Perjuangan itu tidak berhasil lalu dilanjutkan pada persidangan Majelis Konstitusi pada tahun 1956-1959 yang juga mengalami kegagalan. Dalam pemikiran menurut Moh. Mahfud menyatakan pendapat bahwa, 
Tahun 1973 ada RUU Perkawinan yang menurut partai Islam (PPP)  bertentangan dengan syariat Islam. PPP dipimpin oleh Rais Aam PBNU (karena NU tergabung dalam PPP) menolak RUU itu. Akhirnya RUU itu disetujui dengan perubahan mendasar, yaitu pada Pasal 1 dicantumkan prinsip bahwa perkawinan dianggap sah apabila sesuai dengan ketentuan agama (di dalam konteks Islam tentu syariat Islam). [10]
 
                 Keinginan itu secara berangsur berkurang karena perjalanan sejarah memberi pelajaran berharga tentang bagaimana hubungan agama Islam dengan negara diwujudkan dalam kehidupan bernegara. 
 
Kesimpulan dan Tanggapan
               Syariat Islam merupakan rancangan secara komprehensif yang mencakup seluruh sistem di suatu negara. Syariat Islam lahir dari pemikiran nabi besar umat Islam, yaitu nabi Muhammad SAW, yang menginginkan berdirinya suatu bangsa dengan aturan-aturan islami. Sebab hal itu merupakan aturan yang sempurna yang diperintahkan oleh Allah. Indonesia merupakan tempat yang tepat untuk diterapkannya syariat Islam, mengingat Islam adalah sebuah agama mayoritas, bahkan Indonesia diperhitungkan oleh dunia dan digolongkan sebagai negara penganut agama Islam terbesar. Banyak usaha yang dilakukan oleh golongan-golongan yang terus memperjuangkan syariat Islam diterapkan di Indonesia.
               Namun demikian, bukan berarti syariat Islam adalah ideologi ideal bagi setiap negara, di mana terdapat umat muslim mayoritas, khususnya Indonesia. Sekalipun Indonesia tergolong negara mayoritas Islam yang diperhitungkan oleh dunia. Yang terpenting tidak boleh dilupakan, bahwa sejak awal Indonesia adalah negara pluralisme agama. Syariat Islam adalah ideologi yang ideal hanya bagi penganutnya, karena di dalamnya terkandung sebuah aturan agama Islam yang sangat kental.
                 Dapat dikatakan, bahwa syariat Islam berbahaya, alasannya karena jika hal itu diterapkan, maka semua aturan harus sesuai dengan syariat Islam. Contohnya kewajiban mengenakan kerudung atau jilbab bagi wanita. Begitupun sistem ekonomi, politik, pendidikan, budaya, media, semua akan mengacu pada sistem syariat dan hal ini akan berdampak pada perpecahan suku, agama, dan ras di Indonesia.

Daftar Pustaka
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara. Jakarta: Aramadina, 1998.

Eickelman, Dale F. dan Piscatori, James. Politik Muslim-Wacana Kekuasaan
dan Hegemoni Dalam Masyarakat Muslim. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1998.

Kuntowijoyo. Identitas Polotik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997.

Madjid, Nurcholis. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Aramadina,
1999.

Tedjo, Tony. Diktat Kewarganegaraan. Bandung: STT Kharisma, 2009.



[1] Muhammad Daud Ali. Hukum Islam,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999). hal. 5

[2] Hisbu Tahrir Indonesia. Menegakkan Syari’at Islam. (Jakarta: Hisbut Tahrir Indonesia, 2002), hal. 39.
 [3] M.. Rosyidi. Keutamaan Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), hal. 25

[4] Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad. Formalisasi Syari’at Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesi, 2006). hal. 55.
[5] Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Akademi Presindo, 1992), hal. 9.
  [6] Dr. Nurcholish Madjid. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 17

  [7] Bahtiar Effendy. Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 105

  [8] KH. Imam Ghazali Said. Syariat Islam dan Konstitusi Indonesia. (Jawa Timur: CMARs, 1999), hlm. 54
[9] Amir Muallim dan Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. (Yogyakarta: UII Press,2001) hlm. 8
  [10] Moh.Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2001), hlm. 87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar